BPA Belum Terbukti Sebabkan Gangguan Janin dan Kanker

Masyarakat jangan terlalu khawatir berlebihan saat minum air kemasan.

Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, Prof.

Dr.

dr.

Aru Wisaksono Sudoyo SpPD, mengatakan hingga saat ini bahan Bisfenol-A (BPA) dalam kemasan plastik polikarbonat tidak terbukti menyebabkan kanker.

“Saya harap tidak perlu khawatir karena Bisfenol-A yang ada di air kemasan itu buktinya masih sangat lemah untuk bisa menyebabkan kanker.

Jadi, masyarakat belum perlu khawatir atau tidak perlu khawatir saat ini,” kata Aru.

Dia meminta masyarakat tidak perlu panik dan takut mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) galon.

Dia mengatakan isu bahwa BPA menyebabkan kanker hanya memunculkan kepanikan saja di masyarakat.

“Apa yang ada katanya, dilakukan percobaan pada tikus, yang mana tikusnya benar-benar diberi makan BPA.

Tapi sebuah penelitian, awalnya itu juga tidak sampai begitu, memberikan langsung BPA ke hewan percobaan,” jelasnya.

Dia menyarankan salah satu kiat mencegah kanker dengan minum air putih yang cukup dan rajin melakukan gaya hidup sehat seperti berolahraga dan makan makanan bergizi.

Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, mengatakan BPA yang tidak sengaja dikonsumsi dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh.

BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.

“Jadi, sebenarnya kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh tubuh, misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA, tapi ketika dikonsumsi yang paling berperan adalah hati.

Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” kata Syaefudin.

Selain itu, sebenarnya BPA juga memiliki waktu paruh biologis.

Artinya, ketika BPA, misalnya satuannya 10 masuk dalam tubuh, selama 5-6 jam cuma tersisa 5.

“Yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh.

Artinya, yang berpotensi menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” kata Syaefudin.

Dari sisi biokimia, menurut Syaefudin, uji BPA setelah dikonsumsi itu sangat perlu dilakukan.

“Makanya yang perlu dicek sekarang itu adalah kondisi kita itu seperti apa dengan regulasi yang ada sekarang.

Sebenarnya paparan yang ada itu berapa setelah berada di dalam tubuh.

Kalau sudah tahu paparannya, baru bisa jadi argumentasi yang logis untuk industri maupun masyarakat,” ucap Syaefudin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *