Riwayat Wayang Motekar yang Dirintis 30 Tahun Silam, Proyek Belajar Anak-anak

Seniman Bandung, Herry Dim menggagas dan mengembangkan wayang motekar yang dirintis sejak 1992 atau tiga dekade lalu.

Berawal setelah mengikuti pementasan Meta Teater pada 1991, pembuatan wayang itu mengalami banyak proses dan perubahan secara kompleks.

“Sekarang wayang motekar sudah versi keempat,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 27 Agustus 2022.

Saat pementasan Meta Teater bersama pemain dan sutradara teater Payung Hitam, Rachman Sabur juga Harry Roesli, Herry Dim langsung menggambar sosok-sosok tokoh yang diceritakan pada sehelai plastik di atas perangkat dua overhead projector atau OHP secara bergantian.

“Waktu itu konsepnya belum wayang masih seni rupa murni saja,” kata dia.

Di rumahnya di Cibolerang yang ketika itu juga menjadi tempat bermain bocah dan latihan menari, anak-anak ikut nimbrung menjajal OHP.

Sambil meletakkan alat tulis seperti pensil atau penghapus yang diproyeksikan, anak-anak saling bercerita.

Herry lalu meminta setiap anak bercerita dengan satu kalimat lalu disambung oleh anak lainnya yang berjumlah sekitar 20 orang .

Dari tokoh dan cerita yang dibuat anak-anak itu, Herry mulai menggambar cikal bakal wayang motekar untuk dimainkan mereka pada sekitar Maret 1998.

Bentuk wayang motekar seperti wayang kulit, namun berbahan plastik bening yang digambar dengan aneka warna.

Adapun sosok-sosok wayangnya berupa gambar karikatur.

Rencananya setiap anak menjadi dalang dengan memainkan sebuah wayang.

Namun saat itu mereka belum bisa menggelar pertunjukan karena terkendala masalah lampu.

Di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, beberapa lampu sorot dari yang kecil sampai besar hingga lampu di atas panggung diturunkan.

Namun semuanya gagal menampilkan bentuk wayang secara rinci, termasuk lilin dan obor.

Masalah cahaya itu kemudian diatasi dengan menggunakan lampu sepeda motor.

“Ini dia, bayangan wayang jadi bisa keluar,” kata Herry.

Sumber listriknya menggunakan aki ditambah alat pengisian.

Setelah itu pentas perdana wayang motekar dihelat pada 30 Juni 2001 di Studio Pohaci milik Herry Dim.

Lampu motor kemudian diganti dengan lampu mobil yang digunakan selama dua tahun pementasan wayang di balik layar besar.

Pementasan berikutnya di sanggar seni Celah-celah Langit, Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung pada 2003, lalu keliling ke beberapa sekolah dengan lakon berjudul Acung di Alam Jelemun.

Proses selanjutnya yaitu menyempurnakan pementasan misalnya menghilangkan titik cahaya lampu yang menyorot wayang namun sinarnya tetap bisa menyebar secara merata.

Masalah klasik pada pagelaran wayang kulit itu kini berhasil diatasi setelah menjajal aneka jenis kain dengan beragam ketebalan.

“Dengan memakai kain khusus,” kata Herry.

Wayang Motekar rencananya akan kembali tampil pada 3-4 September 2022 di pentas teater Salihara dengan lakon berjudul Let’s Save the Earth.

ANWAR SISWADI Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *